Aku,
tak tau bagaimana cara mengungkapkannya.
Tak
ada kata yang bisa mengawali semua luka yang sedang terjadi sekarang.
Aku,
bingung.
Yang
aku tau aku menyukaimu. Rasa ini baru hadir. Disaat petikan senar gitar dan
alunan lagu berpadu dalam indahnya api unggun kala itu.
Semua
itu begitu indah, dan begitu cepat berlalu. Hingga akupun tak sadar, waktu
telah menenggelamkan semuanya menjadi kenangan.
Kamu
dan aku. Awal perkenalan kita memang biasa saja. Benar-benar tak ada yang
istimewa. Hari pun berlalu, kita sudah mulai saling mengenal, selalu saja ada
hal kebetulan yang membuat kita selalu berpapasan. Aku tak punya firasat
apa-apa. Karna bagiku, itu semua hanya sekedar kebetulan dan tak lebih dari
itu. Kamu, senyuman mu itu, dan tatapan mu, benar-benar membuatku entah mengapa
merasa nyaman.
Aku
tak menyangka, Tuhan menyusun kerangka cerita hidupku sedemikian indah dan
penuh kejutan. Bahkan aku tak menyangka, salah satu kejutan itu, adalah kamu. iya,
kamu, cinta masa kecilku. Dulu, kita dipertemukan, namun tak berapa lama, kamu
pergi. Aku, yang saat itu polos, selalu bertanya pada Tuhan, kemana pangeran
itu pergi? Kenapa pangeran itu meninggalkanku? Hahaha itu konyol. Memang. Tapi,
aku selalu berpikiran, aku dan pangeran itu, berada di langit dan bumi yang
sama.
Sekarang,
Tuhan mempertemukan ku dengan pangeran itu, yaitu kamu. Aku bahagia. Berada di
dekatmu, itu sudah membayar lunas semua pertanyaanku. Apalagi yang kurang? Aku
merasa telah lengkap. Berada dalam satu perkemahan bersamamu, itu sudah lebih
dari yang aku bayangkan. 4 hari selalu melihatmu, tanpa dikejar senja, tanpa
dimakan waktu. Aku menikmati setiap detik tawa mu, senyum mu, bahkan tatapan
mu. Aku senang berada di dunia mu. Aku senang, bahkan saat kaupun dapat
mencicipi hasil masakan ku, dan selalu berharap aku dapat berbagi itu, setiap
hari untukmu.
Memang
benar, disaat kita bahagia, waktu akan berjalan cepat. Ini, malam terakhir
perkemahan. Melihat api unggun yang menyala menyulut kayu dengan gagahnya dan
irama gitar yang senada, harusnya aku bahagia. Harusnya aku menikmati semuanya.
Bintang bertebaran, bulan yang terang, cuaca yang bersahabat. Harusnya aku
memang bahagia. Tapi, kenyataannya? tidak. Entah mengapa, aku ingin menangis.
Semua berkecamuk di dada ini. Aku takut. Aku takut kehilangan semua moment kamu
dan juga aku. Aku takut, setelah perkemahan ini, kamu akan kembali menjelma
menjadi seorang pangeran yang dingin, lalu pergi menghilang (lagi). Aku takut
dengan perasaan ku sendiri. Aku takut kehilangan, tapi aku juga tak ingin
mengakui rasa yang sebenarnya. Dan semua ketakutan itu, ku ungkapkan dengan
tangisan. Buyar sudah semua kenangan indah itu,
Dan
reaksimu? Hanya diam melihat isak ku, sementara yang lain mencoba menenangkan
ku. Peka kah dirimu? Kamu yang selalu kutunggu. Dan, sepertinya ketakutanku
akan benar-benar terjadi.
Aku
mencoba mengambil sebuah lentera merah, tapi dari sekian banyak lentera,
mengapa kau hanya mengambil dari tanganku? Dan tersenyum, kau menatapku,
“jangan menangis” bisikmu lalu mengambil
lentera itu, lalu tersenyum lagi, kemudian pergi.
Kamu
tau? Atau berpura-pura tak tau? Atau memang benar-benar tidak peka?
Hah!
Sudahlah.
Perkemahan
selesai, dan menyisakan kenangan manis. Dan aku benci, ketika keadaan tak
pernah memberikan aku moment kebetulan berpapasan denganmu itu lagi kepadaku. Aku sudah 3 hari tak
melihat sosokmu. Sekali pun melihatnya,
kamu hanya sekedar menatapku, dan kemudian pergi. Seperti tertusuk duri.
Perih.
Entah
ini termasuk cerita Tuhan, aku tak tau.
Malam
itu, kami (anggota perkemahan) berencana untuk mencoba mengulang cerita indah
kebersamaan saat perkemahan. Yaa walau hanya sekedar bakar ayam dan bakar
jagung.
Malam
ini menyenangkan. Hingga penutupnya pun menyenangkan.
Hal
yang tak terduga selanjutnya, Tuhan memberi kelengkapan cerita untukku.
menyatukan aku dan kamu, menjadi kita. Tepat 6 april 2013. Semua airmata ku
terbayarkan dengan pernyataanmu.
Aku
bahagia, tak ada kata yang bisa kuungkapkan. Namun kupastikan, aku selalu
tersenyum, jika aku mengingatmu.
Waktu
berjalan, hari demi hari, minggu ke minggu, dan aku tetap bahagia. Canda khas
mu, tertawaan mu, dan caramu menatapku selalu aku ingat. Caramu merangkulku dan
menggenggam tanganku, itu hal yang istimewa. Aku...... aku bahagia bersamamu.
Hingga
pada akhirnya, aku sampai di titik ini. Aku tak pernah merasa jenuh denganmu, dan
kamu pun begitu. Tapi kenapa? Semua terasa seberat ini? Semua terasa sesakit
ini?
Mama
pernah berpesan, jangan sampai aku mendapatkan seorang yang berlatar belakang
dari kota A (sebut saja begitu). Dan guru ku pun pernah memberi saran, agar aku
juga tak mendapatkan seseorang yang berada pada kondisi kepercayaan X (bukan beda agama),
karena aan ada masalah yang akan aku terima.
Tapi?
Kemarin aku hanya menganggap itu hanya omongan biasa. Namun sekarang, aku
merasakannya. Kamu ! adalah orang yang mempunyai 2 larangan tersebut. Kita, sulit
untuk tetap bersama. Harusnya aku sadar, dari awal aku dan kamu bagai minyak
dan air, panas dan dingin, dan Langit dengan Bumi !! aku bodoh! Harusnya aku
terlebih dahulu mengenalmu, sebelum semua rasa ini menjadi terlambat. Aku sudah
terlanjur terlalu menyukaimu. Tawamu, senyummu, tatapanmu, aku seakan tak bisa
hidup tanpa itu. Tapi, apa kita memang harus mengakhiri semua ini? Tidak. Aku
tidak mau. Dan kamu pun begitu. Tapi, kita harus bagaimana? Melihat reaksi
keluargamu yang sudah habis-habisan menentang ku. Menentang kita. Dan mengambil
kebebasanmu. Melihat mu terkekang karena ku, aku tak bisa. Aku hanya ingin
hidupmu seperti dulu, tetap bahagia dengan aktivitasmu. Jadi haruskah kita
tetap dipertahankan?
Kita
tak pernah ada masalah,
Kita.....
kita selalu bahagia bukan? tapi mengapa Tuhan merangkai cerita pedih disaat Ia
memberi kesan awal bahagia?
Mampukah
kita? Mampukah kamu? Tidak! Bukan itu!! Apakah aku mampu? Entahlah, Aku tak
tau.
Wlwl
BalasHapus