Senin, 27 Mei 2013

entah aku mampu

Aku, tak tau bagaimana cara mengungkapkannya.
Tak ada kata yang bisa mengawali semua luka yang sedang terjadi sekarang.
Aku, bingung.
Yang aku tau aku menyukaimu. Rasa ini baru hadir. Disaat petikan senar gitar dan alunan lagu berpadu dalam indahnya api unggun kala itu.
Semua itu begitu indah, dan begitu cepat berlalu. Hingga akupun tak sadar, waktu telah menenggelamkan semuanya menjadi kenangan.
Kamu dan aku. Awal perkenalan kita memang biasa saja. Benar-benar tak ada yang istimewa. Hari pun berlalu, kita sudah mulai saling mengenal, selalu saja ada hal kebetulan yang membuat kita selalu berpapasan. Aku tak punya firasat apa-apa. Karna bagiku, itu semua hanya sekedar kebetulan dan tak lebih dari itu. Kamu, senyuman mu itu, dan tatapan mu, benar-benar membuatku entah mengapa merasa nyaman.
Aku tak menyangka, Tuhan menyusun kerangka cerita hidupku sedemikian indah dan penuh kejutan. Bahkan aku tak menyangka, salah satu kejutan itu, adalah kamu. iya, kamu, cinta masa kecilku. Dulu, kita dipertemukan, namun tak berapa lama, kamu pergi. Aku, yang saat itu polos, selalu bertanya pada Tuhan, kemana pangeran itu pergi? Kenapa pangeran itu meninggalkanku? Hahaha itu konyol. Memang. Tapi, aku selalu berpikiran, aku dan pangeran itu, berada di langit dan bumi yang sama.
Sekarang, Tuhan mempertemukan ku dengan pangeran itu, yaitu kamu. Aku bahagia. Berada di dekatmu, itu sudah membayar lunas semua pertanyaanku. Apalagi yang kurang? Aku merasa telah lengkap. Berada dalam satu perkemahan bersamamu, itu sudah lebih dari yang aku bayangkan. 4 hari selalu melihatmu, tanpa dikejar senja, tanpa dimakan waktu. Aku menikmati setiap detik tawa mu, senyum mu, bahkan tatapan mu. Aku senang berada di dunia mu. Aku senang, bahkan saat kaupun dapat mencicipi hasil masakan ku, dan selalu berharap aku dapat berbagi itu, setiap hari untukmu.
Memang benar, disaat kita bahagia, waktu akan berjalan cepat. Ini, malam terakhir perkemahan. Melihat api unggun yang menyala menyulut kayu dengan gagahnya dan irama gitar yang senada, harusnya aku bahagia. Harusnya aku menikmati semuanya. Bintang bertebaran, bulan yang terang, cuaca yang bersahabat. Harusnya aku memang bahagia. Tapi, kenyataannya? tidak. Entah mengapa, aku ingin menangis. Semua berkecamuk di dada ini. Aku takut. Aku takut kehilangan semua moment kamu dan juga aku. Aku takut, setelah perkemahan ini, kamu akan kembali menjelma menjadi seorang pangeran yang dingin, lalu pergi menghilang (lagi). Aku takut dengan perasaan ku sendiri. Aku takut kehilangan, tapi aku juga tak ingin mengakui rasa yang sebenarnya. Dan semua ketakutan itu, ku ungkapkan dengan tangisan. Buyar sudah semua kenangan indah itu,
Dan reaksimu? Hanya diam melihat isak ku, sementara yang lain mencoba menenangkan ku. Peka kah dirimu? Kamu yang selalu kutunggu. Dan, sepertinya ketakutanku akan benar-benar terjadi.
Aku mencoba mengambil sebuah lentera merah, tapi dari sekian banyak lentera, mengapa kau hanya mengambil dari tanganku? Dan tersenyum, kau menatapku, “jangan menangis”  bisikmu lalu mengambil lentera itu, lalu tersenyum lagi, kemudian pergi.
Kamu tau? Atau berpura-pura tak tau? Atau memang benar-benar tidak peka?
Hah! Sudahlah.

Perkemahan selesai, dan menyisakan kenangan manis. Dan aku benci, ketika keadaan tak pernah memberikan aku moment kebetulan berpapasan denganmu  itu lagi kepadaku. Aku sudah 3 hari tak melihat sosokmu. Sekali pun melihatnya,  kamu hanya sekedar menatapku, dan kemudian pergi. Seperti tertusuk duri. Perih.
Entah ini termasuk cerita Tuhan, aku tak tau.
Malam itu, kami (anggota perkemahan) berencana untuk mencoba mengulang cerita indah kebersamaan saat perkemahan. Yaa walau hanya sekedar bakar ayam dan bakar jagung.
Malam ini menyenangkan. Hingga penutupnya pun menyenangkan.
Hal yang tak terduga selanjutnya, Tuhan memberi kelengkapan cerita untukku. menyatukan aku dan kamu, menjadi kita. Tepat 6 april 2013. Semua airmata ku terbayarkan dengan pernyataanmu.
Aku bahagia, tak ada kata yang bisa kuungkapkan. Namun kupastikan, aku selalu tersenyum, jika aku mengingatmu.
Waktu berjalan, hari demi hari, minggu ke minggu, dan aku tetap bahagia. Canda khas mu, tertawaan mu, dan caramu menatapku selalu aku ingat. Caramu merangkulku dan menggenggam tanganku, itu hal yang istimewa. Aku...... aku bahagia bersamamu.
Hingga pada akhirnya, aku sampai di titik  ini.  Aku tak pernah merasa jenuh denganmu, dan kamu pun begitu. Tapi kenapa? Semua terasa seberat ini? Semua terasa sesakit ini?

Mama pernah berpesan, jangan sampai aku mendapatkan seorang yang berlatar belakang dari kota A (sebut saja begitu). Dan guru ku pun pernah memberi saran, agar aku juga tak mendapatkan seseorang yang berada  pada kondisi kepercayaan X (bukan beda agama), karena aan ada masalah yang akan aku terima.
Tapi? Kemarin aku hanya menganggap itu hanya omongan biasa. Namun sekarang, aku merasakannya. Kamu ! adalah orang yang mempunyai 2 larangan tersebut. Kita, sulit untuk tetap bersama. Harusnya aku sadar, dari awal aku dan kamu bagai minyak dan air, panas dan dingin, dan Langit dengan Bumi !! aku bodoh! Harusnya aku terlebih dahulu mengenalmu, sebelum semua rasa ini menjadi terlambat. Aku sudah terlanjur terlalu menyukaimu. Tawamu, senyummu, tatapanmu, aku seakan tak bisa hidup tanpa itu. Tapi, apa kita memang harus mengakhiri semua ini? Tidak. Aku tidak mau. Dan kamu pun begitu. Tapi, kita harus bagaimana? Melihat reaksi keluargamu yang sudah habis-habisan menentang ku. Menentang kita. Dan mengambil kebebasanmu. Melihat mu terkekang karena ku, aku tak bisa. Aku hanya ingin hidupmu seperti dulu, tetap bahagia dengan aktivitasmu. Jadi haruskah kita tetap dipertahankan?
Kita tak pernah ada masalah,
Kita..... kita selalu bahagia bukan? tapi mengapa Tuhan merangkai cerita pedih disaat Ia memberi kesan awal bahagia?

Mampukah kita? Mampukah kamu? Tidak! Bukan itu!! Apakah aku mampu? Entahlah, Aku tak tau.

1 komentar: