Kita
sudah saling mengenal. Pertemuan yang tak sengaja, membuatmu menyukaiku.
Benarkah itu? Aku tak tau sebenarnya, tapi kau yang mengatakannya. Sedangkan
aku, hanya menganggapmu sebagai kakak yang baik dalam hidupku. Kamu, yang
hatinya tulus, selalu berkata “tak apa" dan selalu tersenyum untukku.
Membantuku disetiap sudut perjuanganku. Merangkulku disetiap tangisku, dan
selalu dapat menularkan senyummu kepadaku disaat aku butuh itu. Aku nyaman
bersama mu, kak. Tapi bukan seperti rasa nyaman dengan arti yang berbeda. Rasa
seperti apa yang harus kutimbulkan? Jika aku mampu mengatur perasaan ku sendiri, aku akan lebih
memilih menyerahkan hatiku kepadamu, yang tak pernah sedikitpun kuragu, karena
ku percaya, kau mampu menjaga ku dengan kedua lengan yang kokoh itu. Jika aku
memang bisa mengatur hatiku, aku akan menutup diri untuk orang lain, karena
sikapmu yang tulus.
Tapi
apa yang bisa aku lakukan? Aku bukan tuhan! Aku selalu mencoba untuk mengubah
rasa ini menjadi seperti yang kau mau, kak.
2
tahun, bukan waktu yang sebentar untukmu, terus menungguku. Kau orang yang
baik. Harusnya kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku. Tapi kau selalu
saja tersenyum dalam diam mu.
Dan
pada akhirnya, aku mencoba untuk merasakan hal yang sama. Mencoba memahami arti
senyumanmu, memahami semua candamu, memahami tatapanmu dan memahami hatimu. Aku
mempelajari itu semua. Dan kau tak pernah tau. Diam-diam aku menjadi penguntit
mu.
Aku
nyaman dengan hobi baruku. Selalu mencari tau tentangmu. Ini sudah seperti kegiatan
rutin ku. Senyummu dan tawamu diujung sana walau hanya berbentuk tulisan, itu
menyenangkan! Mengetahui apa yang kau lakukan, semua nya seperti menggelitik
rasa ingin tahuku.
Aku
ingin tau keluargamu, dan masa lalumu. Dan kamu, menceritakan semua itu dengan
ekspresimu yang selalu ku suka.
Lama
kelamaan, hati ini bergantung padamu. Kamu berubah menjadi suatu hal yang harus
selalu hadir untukku.
Aku
takut mengakuinya, aku takut jika aku mulai menyukaimu juga. Aku takut perasaan
ini terlambat.
Setengah
hatiku sudah ada padamu, aku berharap aku tidak terlambat. Aku ingin kau tetap
ada.
Tapi
tuhan punya rencana lain, disaat aku ingin mengakui hal yang sama, kamu malah
berkata bahwa kau sudah menemukan orang lain yang mampu membalas perasaanmu.
Yang mampu membalas senyummu dengan senyuman yang sama, yang mampu membalas
genggaman tanganmu sekuat kau menjaganya.
Kamu
tau reaksi ku? Aku terkejut. Aku marah. Aku kesal, aku kecewa! Tapi bukan
kepadamu. Lebih kepada diriku sendiri. Yang sudah menyia-nyiakan kamu! Menyia-nyiakan
seseorang yang tulus.
Aku
bisa apa? Aku Cuma bisa pura-pura bahagia. Aku Cuma bisa pura-pura tersenyum senang
melihat kau dan perempuan mu bersatu. Aku merasa bodoh! Harusnya aku
benar-benar bahagia, bukan pura-pura. Tapi, hatiku butuh kamu. Dan aku, kembali
menyakiti hatiku sendiri, dengan sikap bodohku.
Aku
menyesal dengan perkataanku sendiri yang hanya ingin menganggapmu sekedar kakak
bagiku. Tidak! Aku butuh lebih dari itu. Karena secara tidak langsung, selama
ini sebagian dari senyumku itu karenamu.
Kesedihanku,
membuatku mencoba pergi dari kehidupan yang selama ini kuhabiskan untukmu.
Aku
bagai perahu yang terombang ambing di lautan dan terhempas, tapi tidak karam.
dan tanpa sadar, aku berlabuh di hati yang lain.
Aku
menemukan dia, seseorang yang baru ku jumpa, tapi telah lama ku kenal.
Aku
baru bertemu dengannya setelah sekian lama kami berpisah. Dia mengajariku
banyak hal. Dan dari dia, aku mengenal arti bangkit dari keterpurukan.
Aku
mulai menyukainya, cara bicaranya, cara tertawanya, dan tatapannya membuatku
nyaman. Aku, seperti menemukan salah satu sosok yang pernah hilang dari dirinya.
Dengan
sisa hatiku, aku belajar untuk menyukainya. Aku tak mau melakukan hal yang
bodoh dengan menyia-nyiakan orang yang tulus kepadaku.
Kini,
aku telah bersama dia. Yang hampir setengah dari sosokmu dapat kutemukan
darinya.
Aku
bahagia dengan hidupku sekarang, hingga akhirnya ada rasa aku ingin pulang.
Aku
ingin bertemu denganmu lagi, ingin tertawa bersamamu, ingin bertukar cerita
denganmu sebebas dulu. Tanpa ada dia dan tanpa perempuanmu.
Tapi,
aku mendengar cerita bahwa kamu dan perempuanmu berpisah. Mengapa? Tak maukah
kau berbagi cerita kepadaku? Hanya karena alasan dia, kau mulai memberi jarak
padaku.
Ini
tak adil.
Aku
menyayanginya, tapi tetap membutuhkanmu. Aku tau, aku ..... egois.
Woy mau dua suaminya ya! Wlwl
BalasHapus