Senin, 27 Mei 2013

puisi LT 4 *in memoriam*

RIAU
Nabia Sabrina Silvani

Aku rakyat, penghuni, pengikut sukmamu
Riau dengan balimau makyong
Serampang duabelas dan syair indahnya
Inilah kenyataan tak terbantahkan
Terpenjaralah kalian dalam kekayaan riau tercinta

Ku tatap cermin didepanku
Dan ku bertanya
Dimana negriku??
Dimanaa riau ku?? Dimanaaaa??
Bumbumcakcakbum
Sebait mantra beri arah padaku

Itu
Itu negeriku..
Bumbumcakcakbum
Yang besar dengan badiknya
Yang besar dengan zapinnya
Yang besar lewat seuntai kata
RIAU

Aku, rakyatmu…
Bumbumcakcakbum
Aku rakyat, penghuni, pengikut sukmamu

Riau dengan balimau, makyong, serampang dua belas, dan syair indahnya
Terpenjaralah kalian dalam kekayaan Riau tercinta

Aku rakyat, penghuni, pengikut sukmamu
Riau dengan balimau makyong
Serampang duabelas dan syair indahnya
Inilah kenyataan tak terbantahkan
Terpenjaralah kalian dalam kekayaan riau tercinta


entah aku mampu

Aku, tak tau bagaimana cara mengungkapkannya.
Tak ada kata yang bisa mengawali semua luka yang sedang terjadi sekarang.
Aku, bingung.
Yang aku tau aku menyukaimu. Rasa ini baru hadir. Disaat petikan senar gitar dan alunan lagu berpadu dalam indahnya api unggun kala itu.
Semua itu begitu indah, dan begitu cepat berlalu. Hingga akupun tak sadar, waktu telah menenggelamkan semuanya menjadi kenangan.
Kamu dan aku. Awal perkenalan kita memang biasa saja. Benar-benar tak ada yang istimewa. Hari pun berlalu, kita sudah mulai saling mengenal, selalu saja ada hal kebetulan yang membuat kita selalu berpapasan. Aku tak punya firasat apa-apa. Karna bagiku, itu semua hanya sekedar kebetulan dan tak lebih dari itu. Kamu, senyuman mu itu, dan tatapan mu, benar-benar membuatku entah mengapa merasa nyaman.
Aku tak menyangka, Tuhan menyusun kerangka cerita hidupku sedemikian indah dan penuh kejutan. Bahkan aku tak menyangka, salah satu kejutan itu, adalah kamu. iya, kamu, cinta masa kecilku. Dulu, kita dipertemukan, namun tak berapa lama, kamu pergi. Aku, yang saat itu polos, selalu bertanya pada Tuhan, kemana pangeran itu pergi? Kenapa pangeran itu meninggalkanku? Hahaha itu konyol. Memang. Tapi, aku selalu berpikiran, aku dan pangeran itu, berada di langit dan bumi yang sama.
Sekarang, Tuhan mempertemukan ku dengan pangeran itu, yaitu kamu. Aku bahagia. Berada di dekatmu, itu sudah membayar lunas semua pertanyaanku. Apalagi yang kurang? Aku merasa telah lengkap. Berada dalam satu perkemahan bersamamu, itu sudah lebih dari yang aku bayangkan. 4 hari selalu melihatmu, tanpa dikejar senja, tanpa dimakan waktu. Aku menikmati setiap detik tawa mu, senyum mu, bahkan tatapan mu. Aku senang berada di dunia mu. Aku senang, bahkan saat kaupun dapat mencicipi hasil masakan ku, dan selalu berharap aku dapat berbagi itu, setiap hari untukmu.
Memang benar, disaat kita bahagia, waktu akan berjalan cepat. Ini, malam terakhir perkemahan. Melihat api unggun yang menyala menyulut kayu dengan gagahnya dan irama gitar yang senada, harusnya aku bahagia. Harusnya aku menikmati semuanya. Bintang bertebaran, bulan yang terang, cuaca yang bersahabat. Harusnya aku memang bahagia. Tapi, kenyataannya? tidak. Entah mengapa, aku ingin menangis. Semua berkecamuk di dada ini. Aku takut. Aku takut kehilangan semua moment kamu dan juga aku. Aku takut, setelah perkemahan ini, kamu akan kembali menjelma menjadi seorang pangeran yang dingin, lalu pergi menghilang (lagi). Aku takut dengan perasaan ku sendiri. Aku takut kehilangan, tapi aku juga tak ingin mengakui rasa yang sebenarnya. Dan semua ketakutan itu, ku ungkapkan dengan tangisan. Buyar sudah semua kenangan indah itu,
Dan reaksimu? Hanya diam melihat isak ku, sementara yang lain mencoba menenangkan ku. Peka kah dirimu? Kamu yang selalu kutunggu. Dan, sepertinya ketakutanku akan benar-benar terjadi.
Aku mencoba mengambil sebuah lentera merah, tapi dari sekian banyak lentera, mengapa kau hanya mengambil dari tanganku? Dan tersenyum, kau menatapku, “jangan menangis”  bisikmu lalu mengambil lentera itu, lalu tersenyum lagi, kemudian pergi.
Kamu tau? Atau berpura-pura tak tau? Atau memang benar-benar tidak peka?
Hah! Sudahlah.

Perkemahan selesai, dan menyisakan kenangan manis. Dan aku benci, ketika keadaan tak pernah memberikan aku moment kebetulan berpapasan denganmu  itu lagi kepadaku. Aku sudah 3 hari tak melihat sosokmu. Sekali pun melihatnya,  kamu hanya sekedar menatapku, dan kemudian pergi. Seperti tertusuk duri. Perih.
Entah ini termasuk cerita Tuhan, aku tak tau.
Malam itu, kami (anggota perkemahan) berencana untuk mencoba mengulang cerita indah kebersamaan saat perkemahan. Yaa walau hanya sekedar bakar ayam dan bakar jagung.
Malam ini menyenangkan. Hingga penutupnya pun menyenangkan.
Hal yang tak terduga selanjutnya, Tuhan memberi kelengkapan cerita untukku. menyatukan aku dan kamu, menjadi kita. Tepat 6 april 2013. Semua airmata ku terbayarkan dengan pernyataanmu.
Aku bahagia, tak ada kata yang bisa kuungkapkan. Namun kupastikan, aku selalu tersenyum, jika aku mengingatmu.
Waktu berjalan, hari demi hari, minggu ke minggu, dan aku tetap bahagia. Canda khas mu, tertawaan mu, dan caramu menatapku selalu aku ingat. Caramu merangkulku dan menggenggam tanganku, itu hal yang istimewa. Aku...... aku bahagia bersamamu.
Hingga pada akhirnya, aku sampai di titik  ini.  Aku tak pernah merasa jenuh denganmu, dan kamu pun begitu. Tapi kenapa? Semua terasa seberat ini? Semua terasa sesakit ini?

Mama pernah berpesan, jangan sampai aku mendapatkan seorang yang berlatar belakang dari kota A (sebut saja begitu). Dan guru ku pun pernah memberi saran, agar aku juga tak mendapatkan seseorang yang berada  pada kondisi kepercayaan X (bukan beda agama), karena aan ada masalah yang akan aku terima.
Tapi? Kemarin aku hanya menganggap itu hanya omongan biasa. Namun sekarang, aku merasakannya. Kamu ! adalah orang yang mempunyai 2 larangan tersebut. Kita, sulit untuk tetap bersama. Harusnya aku sadar, dari awal aku dan kamu bagai minyak dan air, panas dan dingin, dan Langit dengan Bumi !! aku bodoh! Harusnya aku terlebih dahulu mengenalmu, sebelum semua rasa ini menjadi terlambat. Aku sudah terlanjur terlalu menyukaimu. Tawamu, senyummu, tatapanmu, aku seakan tak bisa hidup tanpa itu. Tapi, apa kita memang harus mengakhiri semua ini? Tidak. Aku tidak mau. Dan kamu pun begitu. Tapi, kita harus bagaimana? Melihat reaksi keluargamu yang sudah habis-habisan menentang ku. Menentang kita. Dan mengambil kebebasanmu. Melihat mu terkekang karena ku, aku tak bisa. Aku hanya ingin hidupmu seperti dulu, tetap bahagia dengan aktivitasmu. Jadi haruskah kita tetap dipertahankan?
Kita tak pernah ada masalah,
Kita..... kita selalu bahagia bukan? tapi mengapa Tuhan merangkai cerita pedih disaat Ia memberi kesan awal bahagia?

Mampukah kita? Mampukah kamu? Tidak! Bukan itu!! Apakah aku mampu? Entahlah, Aku tak tau.

aku tau,, aku egois

Kita sudah saling mengenal. Pertemuan yang tak sengaja, membuatmu menyukaiku. Benarkah itu? Aku tak tau sebenarnya, tapi kau yang mengatakannya. Sedangkan aku, hanya menganggapmu sebagai kakak yang baik dalam hidupku. Kamu, yang hatinya tulus, selalu berkata “tak apa" dan selalu tersenyum untukku. Membantuku disetiap sudut perjuanganku. Merangkulku disetiap tangisku, dan selalu dapat menularkan senyummu kepadaku disaat aku butuh itu. Aku nyaman bersama mu, kak. Tapi bukan seperti rasa nyaman dengan arti yang berbeda. Rasa seperti apa yang harus kutimbulkan? Jika aku mampu  mengatur perasaan ku sendiri, aku akan lebih memilih menyerahkan hatiku kepadamu, yang tak pernah sedikitpun kuragu, karena ku percaya, kau mampu menjaga ku dengan kedua lengan yang kokoh itu. Jika aku memang bisa mengatur hatiku, aku akan menutup diri untuk orang lain, karena sikapmu yang tulus.

Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku bukan tuhan! Aku selalu mencoba untuk mengubah rasa ini menjadi seperti yang kau mau, kak.
2 tahun, bukan waktu yang sebentar untukmu, terus menungguku. Kau orang yang baik. Harusnya kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku. Tapi kau selalu saja tersenyum dalam diam mu.

Dan pada akhirnya, aku mencoba untuk merasakan hal yang sama. Mencoba memahami arti senyumanmu, memahami semua candamu, memahami tatapanmu dan memahami hatimu. Aku mempelajari itu semua. Dan kau tak pernah tau. Diam-diam aku menjadi penguntit mu.
Aku nyaman dengan hobi baruku. Selalu mencari tau tentangmu. Ini sudah seperti kegiatan rutin ku. Senyummu dan tawamu diujung sana walau hanya berbentuk tulisan, itu menyenangkan! Mengetahui apa yang kau lakukan, semua nya seperti menggelitik rasa ingin tahuku.
Aku ingin tau keluargamu, dan masa lalumu. Dan kamu, menceritakan semua itu dengan ekspresimu yang selalu ku suka.

Lama kelamaan, hati ini bergantung padamu. Kamu berubah menjadi suatu hal yang harus selalu hadir untukku.
Aku takut mengakuinya, aku takut jika aku mulai menyukaimu juga. Aku takut perasaan ini terlambat.

Setengah hatiku sudah ada padamu, aku berharap aku tidak terlambat. Aku ingin kau tetap ada.
Tapi tuhan punya rencana lain, disaat aku ingin mengakui hal yang sama, kamu malah berkata bahwa kau sudah menemukan orang lain yang mampu membalas perasaanmu. Yang mampu membalas senyummu dengan senyuman yang sama, yang mampu membalas genggaman tanganmu sekuat kau menjaganya.
Kamu tau reaksi ku? Aku terkejut. Aku marah. Aku kesal, aku kecewa! Tapi bukan kepadamu. Lebih kepada diriku sendiri. Yang sudah menyia-nyiakan kamu! Menyia-nyiakan seseorang yang tulus.

Aku bisa apa? Aku Cuma bisa pura-pura bahagia. Aku Cuma bisa pura-pura tersenyum senang melihat kau dan perempuan mu bersatu. Aku merasa bodoh! Harusnya aku benar-benar bahagia, bukan pura-pura. Tapi, hatiku butuh kamu. Dan aku, kembali menyakiti hatiku sendiri, dengan sikap bodohku.

Aku menyesal dengan perkataanku sendiri yang hanya ingin menganggapmu sekedar kakak bagiku. Tidak! Aku butuh lebih dari itu. Karena secara tidak langsung, selama ini sebagian dari senyumku itu karenamu.

Kesedihanku, membuatku mencoba pergi dari kehidupan yang selama ini kuhabiskan untukmu.
Aku bagai perahu yang terombang ambing di lautan dan terhempas, tapi tidak karam. dan tanpa sadar, aku berlabuh di hati yang lain.
Aku menemukan dia, seseorang yang baru ku jumpa, tapi telah lama ku kenal.
Aku baru bertemu dengannya setelah sekian lama kami berpisah. Dia mengajariku banyak hal. Dan dari dia, aku mengenal arti bangkit dari keterpurukan.

Aku mulai menyukainya, cara bicaranya, cara tertawanya, dan tatapannya membuatku nyaman. Aku, seperti menemukan salah satu sosok yang pernah hilang dari dirinya.
Dengan sisa hatiku, aku belajar untuk menyukainya. Aku tak mau melakukan hal yang bodoh dengan menyia-nyiakan orang yang tulus kepadaku.

Kini, aku telah bersama dia. Yang hampir setengah dari sosokmu dapat kutemukan darinya.
Aku bahagia dengan hidupku sekarang, hingga akhirnya ada rasa aku ingin pulang.
Aku ingin bertemu denganmu lagi, ingin tertawa bersamamu, ingin bertukar cerita denganmu sebebas dulu. Tanpa ada dia dan tanpa perempuanmu.

Tapi, aku mendengar cerita bahwa kamu dan perempuanmu berpisah. Mengapa? Tak maukah kau berbagi cerita kepadaku? Hanya karena alasan dia, kau mulai memberi jarak padaku.
Ini tak adil.

Aku menyayanginya, tapi tetap membutuhkanmu. Aku tau, aku ..... egois.

ketika,,

Ketika memang semua pilihan ada ditanganku.
Aku bingung.
Ingin tetap memandang matahari walau aku tau sinarnya terlalu terang,
atau
memilih duduk diam dibawah bulan sementara cahayanya takkan mampu menerangi hatiku yang gelap.
Disaat aku harus memilih,
tetap menikmati kenangan masa laluku,
atau
mulai berani melangkah bersama masa depanku.
Disaat pilihan ada didepanku,
memilih diam dalam luka ku,
atau ,
melepaskanmu dengan kebahagiaan yang sebenarnya masih semu untukku.
Aku, harus memilih,
apakah tetap mempertahankan orang yang mempertahankanku?
Atau
balik mencintai orang yang mencintaiku?
Keduanya adalah orang yang berbeda.
Memiliki tempat yang tidak sama,
namun seimbang.
Semua pilihan ada di pundakku.
Menyakiti orang yang terus mempertahankanku?
Atau
malah melukai orang yang tulus mencintaiku?
Tak ada yang ingin kulepas pergi.
Aku egois.
Memang.
Ini bukan salahku.
Rasa ini yang salah.
Yang membuatku sedikit mengalihkan pandanganku darimu,
hingga akupun bingung harus memilih.
Mempertahankanmu, itu keinginanku.
Tapi bersamanya itu harapanku.
Aku dan kamu hanya dihubungkan dengan seutas benang.
Benang tipis yang suatu saat akan putus  karena keadaan orang-orang yang disekitarmu, bukan disekitarku.
Kamu,
adalah kebahagiaan yang kuharapkan di masa depanku.

Dan dia,
 adalah orang yang kuinginkan untuk terus ada disampingku.

Kamu,
adalah orang yang bisa membuatku nyaman dan tersenyum.

Dan dia
adalah orang yang selalu membuatku merasa aman dan bahagia.

Bersamamu,
aku menjadi perempuan manja,

Bersamanya,
membuatku menjadi perempuan sok kuat,

Alasan mengapa aku tetap mempertahankanmu,
aku hanya ingin tidak menyakitimu.
Alasan mengapa aku tak melepaskannya,
karna aku tidak mau kehilangan sebagian senyumku.

Kini aku berada dipersimpangan.
Aku ragu.
Untuk tetap berada di jalan kita,
atau aku harus berbelok ke jalan yang lain, sendirian?
Aku terlalu takut melepasmu, dan terlalu sakit terus mempertahankan dia.
Dan sampai saat ini, aku masih berdiri diujung jalan.
Menunggu…

Siapa yang akan menjemputku, pulang.